BAHAN PERSEKUTUAN PENDALAMAN ALKITAB
SPIRITUALITAS DI TENGAH PANDEMI
Banyak berita mengenai Coronavirus—Covid19. Anda pun mengalaminya. Yang tidak kita sadari adalah bahwa deraan berita-berita tersebut bisa meneguhkan tapi juga bisa melemahkan resiliensi fisik dan mental kita. Beberapa orang yang hidup di negara yang sudah mengalami lock-down juga mengalami peristiwa global ini sangat mempengaruhi kesehatan mental mereka.
Apa yang sangat minim dilakukan adalah bagaimana kita melihat peristiwa ini sebagai sebuah momen spiritual. Masih banyak sikap-sikap religius yang nyaris konyol dalam menyikapi Covid-19 ini, yang muncul dari kenaifan spiritual yang bisa berbahaya. Misalnya, saya sering membaca para pemimpin gereja yang dengan super-yakin mengatakan bahwa orang beriman tidak akan terkena virus ini. Atau, kita harus tetap percaya bahwa Tuhan akan meluputkan orang percaya. Dan sebagainya. Saya tidak menyangsikan iman mereka. Tapi, saya menyangsikan kecerdasan mereka.
Menurut hemat saya, kita justru perlu menyuburkan spiritualitas yang sungguh penuh iman dan luas akal, yang dapat menguatkan resiliensi kita dan komunitas kita. Beberapa poin tengah saya renungkan dan sila Anda menambah berdasarkan perenungan kita.
1. Covid-19 ini mengingatkan kita pada KERAPUHAN kita sebagai ciptaan. Pada akhirnya, kita terlalu rapuh untuk menghindari dari sakit dan penyakit. Sedapat mungkin kita harus menjaga kesehatan, namun di ujung hari itu, kita akan tergeletak di ambang hidup dan mati, entah karena Covid-19 atau sebab lain. Merayakan kemanusiaan berarti menerima kerapuhan itu dan berusaha hidup dalam kepenuhan (flourishing) bukan terlepas dari (in spite of) melainkan justru karena (because of) kerapuhan tersebut. Sebab Allah di dalam Kristus pun memasuki kerapuhan manusiawi kita sebagai manusia sejati yang rapuh pula. Pandemi ini adalah pembelajaran yang sama baik untuk mengingat kematian (memento mori) kita.
2. Covid-19 ini BUKAN AKHIR DARI DUNIA. Ia adalah bagian dari rantai evolusi yang sangat panjang. Telah banyak pandemi yang berlangsung di dunia ini, yang memakan korban sangat banyak. Dan dunia berjalan terus. Dan masing-masing kita berada di dalam proses panjang itu, kadang penuh keluhan lirih, tapi tak jarang penuh kegembiraan dan tawa.
3. Covid-19 ini menguji sejauh mana radikalnya IDENTITAS KITA SEBAGAI PRIBADI-DALAM-RELASI. Di sini paradoks dari relasi dipertaruhkan. Apa yang membuat seseorang terinfeksi setepatnya adalah apa yang membuat mereka berelasi dengan sesama—Apa yang membuat mereka manusia! Imunitas spiritual mungkin akan membebaskan kita dari Covid-19, namun ia juga menjadi tiket sekali jalan untuk berhenti menjadi manusia sosial dan komunal. Saya tidak ingin mengatakan bahwa kita harus berelasi dan bersosialisasi tanpa takut tertular. Tentu saja kita harus menjaga diri dan kesehatan sebaik mungkin. Namun, kita tak boleh memakai isu pandemi ini sebagai alasan dan cara untuk meluruhkan kemanusiaan kita sebagai pribadi-dalam-relasi. Sebab semua relasi pasti memiliki risiko.
4. Covid-19 terkenal sangat menular … Namun, CINTAKASIH JUGA SANGAT MENULAR. Tidak semua orang terinfeksi secara langsung, namun semua orang telah terafeksi oleh pandemi ini. Kegetiran, kemalangan, kehilangan, dan keputusasaan menjadi bahasa yang makin menguat. Maka, mintalah kepada Roh Kudus untuk memberi hikmat agar kita bisa secara kreatif dan berani memperkuat bahasa cintakasih, empati, dan kepedulian. Saya tak tahu caranya dan memang tak ada cara universal. Tapi, setiap momen semoga membangkitkan kemauan dan kemampuan kita mencinta dan menularkannya kepada komunitas kita.
5. ….
6. ….
Silakan tambah sendiri dengan refleksi Anda. Kiranya Allah melalui Kristus di dalam kuasa Roh mengasihani kita semua.