BAHAN
DASAR MASA PENTAKOSTA 2021
Lembaga
Pendidikan & Pengkaderan Sinode GKJ & GKI SW Jateng
KEBERANIAN MENYONGSONG HIDUP
Alkitab menuturkan adegan ketakutan yang melanda para murid
selepas penderitaan dan kematian Yesus. Dalam narasi Injil Yohanes, adegan
ketakutan itu dituturkan dengan catatan tentang berkumpulnya para murid di
sebuah rumah dengan pintu-pintu yang tertutup (Yoh. 20:19). Mengapa mereka
begitu takut, bukankah mereka selama ini terlihat gagah dan berani menghadapi
tantangan? Contoh Petrus menarik untuk dilihat. Sebelumnya Petrus dengan
keberanian luar biasa melawan para penangkap Yesus sampai telinga Malkhus terputus
(Yoh. 18:10). Petrus pula yang mengikuti Yesus dari kejauhan untuk menyaksikan
interogasi terhadap Yesus, namun ciut ketika ditanya tentang identitasnya
sebagai murid Yesus (Yoh. 18:25-27). Ada yang menyebut bahwa apa yang tengah
terjadi pada para murid ini dapat dikategorikan sebagai mentalitas keong.
Mentalitas keong adalah mentalitas yang dimiliki seseorang yang tidak berani
mengambil resiko, mentalitas yang merasa aman dalam cangkangnya, mentalitas
eskapis. Mentalitas keong kerap menghadirkan diri dalam sosok yang gagah berani
di dalam komunitasnya. Namun, ketika akan berhadapan dengan realitas di luar
diri dan komunitasnya, apalagi mengancam keberadaannya, ia akan ciut dalam
cangkangnya. Para murid boleh dikatakan tengah mencari rasa aman dalam rumah
yang terkunci. Namun, apakah dengan pintu yang terkunci para murid benar-benar
merasa aman? Tentu saja tidak. Karena ketakutan bukanlah realita tapi lebih
pada cara berpikir. Itu sebabnya di tengah pintu yang terkunci itu ketakutan
tetap menguasai mereka dan membuyarkan pengharapan mereka tentang Mesias yang
menyelamatkan kehidupan. Bahkan ketakutan telah menghancurkan bangunan
pengajaran Yesus yang dulu begitu mendalam pada diri mereka.
Hidup dalam ketakutan sudah pasti tidak dikehendaki Allah. Itu sebabnya
Yesus hadir di tengah-tengah para murid yang ketakutan itu memberikan secercah
pengharapan. “Damai sejahtera bagi kamu!” sapa Yesus dalam berkat. Mereka tidak
ditegur, juga tidak dicibir karena ketakutan yang melingkupi. Mereka justru
direngkuh melalui berkat yang menghadirkan cinta kasih pembawa kedamaian. Dalam
narasi komunitas Yohanes dinyatakan betapa kasih penuh kuasa melawan ketakutan,
“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan”
(1 Yoh. 4:18).
Sapaan berkat penuh cinta dilanjutkan dengan pemberian Roh Kudus.
Roh Kudus telah berulang kali dinyatakan Yesus sebagai sumber kekuatan dan
penghiburan sebagaimana yang dicatat oleh penginjil Yohanes. Kepada para murid
Roh itu dicurahkan, “Terimalah Roh Kudus” (Yoh. 20:22). Kisah penciptaan bagai
berulang. Oleh hembusan Roh Kudus, para murid menjadi manusia baru yang siap
berkarya dengan penuh keberanian menjadi saksi karya kasih Tuhan.
Kuasa Roh Kudus inilah yang memberikan keberanian para murid untuk
keluar dari cangkangnya (Kis. 2). Mereka terbebas dari mentalitas keong,
terlepas dari kuasa ketakutan. Dengan penuh keberanian mereka kemudian
menceritakan karya keselamatan yang dikerjakan Yesus pada dunia ini. Kesaksian
para murid bergerak meluas dari “Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan
sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Karya misi karena kuasa Roh Kudus inilah yang
melahirkan gereja. Hal ini menegaskan bahwa misi bukanlah kegiatan gereja, misi
adalah inti hakikat gereja. Seperti kata teolog Jerman Martin Kähler, misi yang
adalah “induk teologi… teologi yang pertama adalah teologi misi, dan sejarah
gereja yang pertama adalah sejarah misi.”
ROH KEBERANIAN
Roh Kudus menyulut semangat yang menyala-nyala untuk dengan berani
memberitakan keselamatan yang dikerjakan Allah di dalam Yesus Kristus dan
melalui karya Roh Kudus. Berani di sini bukanlah berarti nekad. Roh Kudus
memberikan kepada mereka juga hikmat, sehingga keberanian mereka dilandasi oleh
tuntunan Sang Hikmat, sekalipun tetap ada resiko.
Dalam keberanian penuh hikmat itu para murid dengan fasih
mempersaksikan Kristus sebagai sumber keselamatan dalam berbagai bahasa yang
dimengerti para pendengarnya. Bahasa lain (Yun: glossolalia) yang mereka
sampaikan seperti yang diberikan Roh Kudus (Kis. 2:20) adalah bahasa yang
dimengerti oleh manusia dari berbagai macam bangsa (Yun: xenolalia, bahasa
asing). Dengan demikian, karya Roh memakai bahasa manusia sekaligus melampaui
keterbatasan bahasa.
Gema karya Roh Kudus kemudian dilanjutkan dengan keberanian dan
ketegasan Petrus yang berkhotbah berapi-api dengan suara nyaring. Petrus,
seorang penyangkal yang pernah dikuasai ketakutan, menjadi pemimpin para murid
dan pengkhotbah yang berani menyampaikan Injil Kerajaan Allah. Tradisi mencatat
Petrus mati dengan salib terbalik, yang menunjukkan keberaniannya menghadapi
salib yang dulu pernah begitu menggentarkan hidupnya.
Para murid lainnya juga mencatatkan keberanian yang luar biasa.
Oleh karya Roh Kudus mereka terus melaksanakan tugas panggilan memberitakan
Injil Kerajaan Allah dengan penuh kegembiraan, sekalipun hadangan dan
penderitaan mengancam mereka. Catatan Kisah Para Rasul tentang hal ini sangat
menarik,
Mereka memanggil rasul-rasul itu, lalu menyesah mereka dan
melarang mereka mengajar dalam nama Yesus. Sesudah itu mereka dilepaskan.
Rasul-rasul itu meninggalkan sidang Mahkamah Agama dengan gembira, karena
mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus. Dan
setiap hari mereka melanjutkan pengajaran mereka di Bait Allah dan di
rumah-rumah orang dan memberitakan Injil tentang Yesus yang adalah Mesias (Kis.
5:40-42).
Para murid menjadi pribadi yang berani melalui proses. Setidaknya
kita bisa mencatat ada tiga fase yang dilalui para murid dalam berproses, yaitu
fase takut, fase belajar, dan fase bertumbuh. Dalam tiap fase karya kuasa Roh
Kudus sungguh-sungguh menolong mereka tetap bergeliat sehingga memiliki
spiritualitas yang tangguh dan kreatif dalam berkarya.
Dengan spiritualitas semacam itu, para murid dengan gagah berani
memberitakan Injil Kerajaan Allah. Alkitab mencatat kisah Stefanus, martir
pertama. Di tengah ancaman maut yang siap merenggut hidupnya, Stefanus masih
berujar dalam nada cinta kasih, seperti Kristus Sang Teladan, “Sambil berlutut
ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada
mereka!” Dan dengan perkataan itu meninggallah ia” (Kis. 7:60).
Keberanian para martir terus menerus hadir dalam kehidupan hingga
saat ini. Artinya, keberanian menghadirkan Injil Kerajaan Allah tak hanya
terjadi di masa lalu, tetapi juga di masa kini. Hal itu menandakan bahwa karya
Roh Kudus terus terjadi dalam sepanjang kehidupan manusia. Paus Fransiskus dalam audiensi umum mingguan di tahun 2019
mengajak umat kristen mengenang kembali 21 orang Kristen Ortodoks Koptik – pekerja
bangunan Mesir – yang mati syahid karena iman mereka pada tahun 2015 di sebuah
pantai di Libya, di tangan ISIS. Kata Paus, “Kata terakhir mereka adalah
‘Yesus, Yesus’. Mereka tidak menyangkal iman mereka, karena Roh Kudus menyertai
mereka. Para martir modern.”
KEGENTARAN HIDUP
Mungkin saat ini kita masih hidup dalam kecemasan bahkan ketakutan
yang diakibatkan karena pandemi Covid-19. Pandemi yang terus menggerus
kehidupan bersama di bumi ini telah menciptakan kegentaran menghadapi hidup.
Siapa yang tidak gentar? Sebagai contoh International Association for Suicide
Prevention (IASP) menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 memicu peningkatan jumlah
pasien kesehatan mental yang hendak bunuh diri. Angka bunuh diri sendiri
tercatat terjadi setiap 40 detik di dunia.
Tod Bolsinger, seorang teolog dari Fuller Seminary Amerika
Serikat, mengatakan bahwa pada saat ini ketika kita menghadapi virus Covid-19,
kita seperti tengah berada pada wilayah baru yang tidak terpetakan. Artinya, jalan di depan kita tidak kita ketahui
juntrungan-nya. Covid-19 membuat kita seolah tidak punya kendali atas kehidupan
di masa depan. Hidup kita seperti tanpa kalender kerja, tanpa pengaturan, tanpa
perencanaan jauh ke depan.
Pandemi tak hanya menyerang kesehatan fisik akan tetapi juga
memorak-morandakan kehidupan ekonomi kita. ILO (International Labour
Organization) memperkirakan akan ada sekitar 195 juta lapangan kerja di dunia
akan hilang akibat Covid-19. Di Indonesia pada bulan Februari angka
pengangguran meningkat 5%. Angka ini akan melonjak bilamana Covid-19 tidak
mampu dibendung. Dari sudut pangan,
hasil riset IFPRI (International Food Policy Research Institute) menyatakan
akibat bencana Covid-19 diperkirakan akan terjadi kelaparan ekstrim pada 150
juta penduduk dunia.
Kegentaran tak hanya sekadar soal pandemi, tetapi juga berbagai
macam persoalan kehidupan, termasuk dalam kehidupan bersama berbangsa di
Indonesia. Dalam konteks Indonesia, kita menemukan kenyataan makin menguatnya
intoleransi. Sidney Jones, pakar konflik di Indonesia menyatakan bahwa masalah
terbesar bagi demokrasi Indonesia bukanlah terorisme, melainkan intoleransi
yang menjalar dari kelompok radikal yang pinggiran ke arah arus utama
(mainstream). Di tengah keadaan itu,
demikian Jones, pemerintah Indonesia kurang memberikan perhatian serius akan
kenyataan ini sehingga budaya kebencian dan kekerasan terus terjadi pada
kelompok-kelompok minoritas.
Di sini, kita dapat menyebut ada ormas berbalut agama yang
dikatakan oleh International Crisis Group sebagai kaum moralis ekstrem. Ian
Wilson, ilmuwan politik yang mempelajari sebuah ormas besar tersohor dari dekat
menyatakan sepak terjang mereka lebih dapat dijelaskan dengan faktor uang
dibandingkan dengan faktor moral. Dengan tegas Wilson mengatakan ormas tersebut
telah mengukuhkan kedudukannya dalam dunia perpolitikan dengan sengaja
menciptakan ketegangan sosial dan kepanikan moral yang dengan itu mereka
menempatkan dirinya sebagai broker, semacam pemeras moralitas.
Tak ayal lagi, realitas ini kerap kembali mengembalikan mentalitas
kaum minoritas –kita, komunitas kristen khususnya– dalam mentalitas keong. Mentalitas ini membuat kita diam dengan
beribu alasan. Di manakah keberanian kita? Di sini kita perlu menyerukan
panggilan kita lebih keras dan sungguh-sungguh untuk kembali dikuasai oleh Roh
Kudus, Roh yang memberikan keberanian menghadapi hidup dalam kebenaran Allah.
BERANI HIDUP
Menjelang akhir tahun 2020, publik dikejutkan dengan keberanian
seorang bernama Nikita Mirzani menghadapi oknum-oknum dari sebuah ormas besar
di Indonesia. Ketika gema ketakutan yang membuat banyak orang tengkurap, atau
memilih diam karena menghadapi kekuatan massa yang besar –bahkan termasuk
aparat hukum– tanpa gentar Nikita Mirzani melawan. Lepas dari berbagai kategori
moral yang kerap diletakkan pada artis kontroversial ini, agaknya kita perlu
merenung sejenak untuk menilai keberanian hidup kita. Inilah saatnya kita
mengobarkan kuasa Roh Kudus yang memberikan keberanian yang menyala-nyala demi
Injil Kerajaan Allah. Inilah saatnya merasakan kembali kuasa Roh Kudus yang
meghadirkan keberanian dalam memberitakan Injil Kerajaan Allah sebagaimana yang
telah ditunjukkan oleh pada martir.
Adalah saatnya kita memiliki mental seperti Stefanus dan para
murid yang lain, yang secara personal punya keberanian karena pengalaman iman
bersama Kristus yang bangkit itu. Semoga masa Pentakosta ini menyadarkan kita
untuk berani menyongsong hidup bersama Roh Kudus.