Minggu, 11 April 2021

KEBERANIAN MENYONGSONG HIDUP - BAHAN DASAR MASA PENTAKOSTA 2021

 

BAHAN DASAR MASA PENTAKOSTA 2021

Lembaga Pendidikan & Pengkaderan Sinode GKJ & GKI SW Jateng

KEBERANIAN MENYONGSONG HIDUP

Alkitab menuturkan adegan ketakutan yang melanda para murid selepas penderitaan dan kematian Yesus. Dalam narasi Injil Yohanes, adegan ketakutan itu dituturkan dengan catatan tentang berkumpulnya para murid di sebuah rumah dengan pintu-pintu yang tertutup (Yoh. 20:19). Mengapa mereka begitu takut, bukankah mereka selama ini terlihat gagah dan berani menghadapi tantangan? Contoh Petrus menarik untuk dilihat. Sebelumnya Petrus dengan keberanian luar biasa melawan para penangkap Yesus sampai telinga Malkhus terputus (Yoh. 18:10). Petrus pula yang mengikuti Yesus dari kejauhan untuk menyaksikan interogasi terhadap Yesus, namun ciut ketika ditanya tentang identitasnya sebagai murid Yesus (Yoh. 18:25-27). Ada yang menyebut bahwa apa yang tengah terjadi pada para murid ini dapat dikategorikan sebagai mentalitas keong. Mentalitas keong adalah mentalitas yang dimiliki seseorang yang tidak berani mengambil resiko, mentalitas yang merasa aman dalam cangkangnya, mentalitas eskapis. Mentalitas keong kerap menghadirkan diri dalam sosok yang gagah berani di dalam komunitasnya. Namun, ketika akan berhadapan dengan realitas di luar diri dan komunitasnya, apalagi mengancam keberadaannya, ia akan ciut dalam cangkangnya. Para murid boleh dikatakan tengah mencari rasa aman dalam rumah yang terkunci. Namun, apakah dengan pintu yang terkunci para murid benar-benar merasa aman? Tentu saja tidak. Karena ketakutan bukanlah realita tapi lebih pada cara berpikir. Itu sebabnya di tengah pintu yang terkunci itu ketakutan tetap menguasai mereka dan membuyarkan pengharapan mereka tentang Mesias yang menyelamatkan kehidupan. Bahkan ketakutan telah menghancurkan bangunan pengajaran Yesus yang dulu begitu mendalam pada diri mereka.

Hidup dalam ketakutan sudah pasti tidak dikehendaki Allah. Itu sebabnya Yesus hadir di tengah-tengah para murid yang ketakutan itu memberikan secercah pengharapan. “Damai sejahtera bagi kamu!” sapa Yesus dalam berkat. Mereka tidak ditegur, juga tidak dicibir karena ketakutan yang melingkupi. Mereka justru direngkuh melalui berkat yang menghadirkan cinta kasih pembawa kedamaian. Dalam narasi komunitas Yohanes dinyatakan betapa kasih penuh kuasa melawan ketakutan, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1 Yoh. 4:18).

Sapaan berkat penuh cinta dilanjutkan dengan pemberian Roh Kudus. Roh Kudus telah berulang kali dinyatakan Yesus sebagai sumber kekuatan dan penghiburan sebagaimana yang dicatat oleh penginjil Yohanes. Kepada para murid Roh itu dicurahkan, “Terimalah Roh Kudus” (Yoh. 20:22). Kisah penciptaan bagai berulang. Oleh hembusan Roh Kudus, para murid menjadi manusia baru yang siap berkarya dengan penuh keberanian menjadi saksi karya kasih Tuhan.

Kuasa Roh Kudus inilah yang memberikan keberanian para murid untuk keluar dari cangkangnya (Kis. 2). Mereka terbebas dari mentalitas keong, terlepas dari kuasa ketakutan. Dengan penuh keberanian mereka kemudian menceritakan karya keselamatan yang dikerjakan Yesus pada dunia ini. Kesaksian para murid bergerak meluas dari “Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Karya misi karena kuasa Roh Kudus inilah yang melahirkan gereja. Hal ini menegaskan bahwa misi bukanlah kegiatan gereja, misi adalah inti hakikat gereja. Seperti kata teolog Jerman Martin Kähler, misi yang adalah “induk teologi… teologi yang pertama adalah teologi misi, dan sejarah gereja yang pertama adalah sejarah misi.” 

 

ROH KEBERANIAN

Roh Kudus menyulut semangat yang menyala-nyala untuk dengan berani memberitakan keselamatan yang dikerjakan Allah di dalam Yesus Kristus dan melalui karya Roh Kudus. Berani di sini bukanlah berarti nekad. Roh Kudus memberikan kepada mereka juga hikmat, sehingga keberanian mereka dilandasi oleh tuntunan Sang Hikmat, sekalipun tetap ada resiko.

Dalam keberanian penuh hikmat itu para murid dengan fasih mempersaksikan Kristus sebagai sumber keselamatan dalam berbagai bahasa yang dimengerti para pendengarnya. Bahasa lain (Yun: glossolalia) yang mereka sampaikan seperti yang diberikan Roh Kudus (Kis. 2:20) adalah bahasa yang dimengerti oleh manusia dari berbagai macam bangsa (Yun: xenolalia, bahasa asing). Dengan demikian, karya Roh memakai bahasa manusia sekaligus melampaui keterbatasan bahasa.

Gema karya Roh Kudus kemudian dilanjutkan dengan keberanian dan ketegasan Petrus yang berkhotbah berapi-api dengan suara nyaring. Petrus, seorang penyangkal yang pernah dikuasai ketakutan, menjadi pemimpin para murid dan pengkhotbah yang berani menyampaikan Injil Kerajaan Allah. Tradisi mencatat Petrus mati dengan salib terbalik, yang menunjukkan keberaniannya menghadapi salib yang dulu pernah begitu menggentarkan hidupnya.

 

Para murid lainnya juga mencatatkan keberanian yang luar biasa. Oleh karya Roh Kudus mereka terus melaksanakan tugas panggilan memberitakan Injil Kerajaan Allah dengan penuh kegembiraan, sekalipun hadangan dan penderitaan mengancam mereka. Catatan Kisah Para Rasul tentang hal ini sangat menarik,

Mereka memanggil rasul-rasul itu, lalu menyesah mereka dan melarang mereka mengajar dalam nama Yesus. Sesudah itu mereka dilepaskan. Rasul-rasul itu meninggalkan sidang Mahkamah Agama dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus. Dan setiap hari mereka melanjutkan pengajaran mereka di Bait Allah dan di rumah-rumah orang dan memberitakan Injil tentang Yesus yang adalah Mesias (Kis. 5:40-42).

Para murid menjadi pribadi yang berani melalui proses. Setidaknya kita bisa mencatat ada tiga fase yang dilalui para murid dalam berproses, yaitu fase takut, fase belajar, dan fase bertumbuh. Dalam tiap fase karya kuasa Roh Kudus sungguh-sungguh menolong mereka tetap bergeliat sehingga memiliki spiritualitas yang tangguh dan kreatif dalam berkarya.

Dengan spiritualitas semacam itu, para murid dengan gagah berani memberitakan Injil Kerajaan Allah. Alkitab mencatat kisah Stefanus, martir pertama. Di tengah ancaman maut yang siap merenggut hidupnya, Stefanus masih berujar dalam nada cinta kasih, seperti Kristus Sang Teladan, “Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dan dengan perkataan itu meninggallah ia” (Kis. 7:60).

Keberanian para martir terus menerus hadir dalam kehidupan hingga saat ini. Artinya, keberanian menghadirkan Injil Kerajaan Allah tak hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga di masa kini. Hal itu menandakan bahwa karya Roh Kudus terus terjadi dalam sepanjang kehidupan manusia. Paus Fransiskus  dalam audiensi umum mingguan di tahun 2019 mengajak umat kristen mengenang kembali 21 orang Kristen Ortodoks Koptik – pekerja bangunan Mesir – yang mati syahid karena iman mereka pada tahun 2015 di sebuah pantai di Libya, di tangan ISIS. Kata Paus, “Kata terakhir mereka adalah ‘Yesus, Yesus’. Mereka tidak menyangkal iman mereka, karena Roh Kudus menyertai mereka. Para martir modern.”

 

KEGENTARAN HIDUP

Mungkin saat ini kita masih hidup dalam kecemasan bahkan ketakutan yang diakibatkan karena pandemi Covid-19. Pandemi yang terus menggerus kehidupan bersama di bumi ini telah menciptakan kegentaran menghadapi hidup. Siapa yang tidak gentar? Sebagai contoh International Association for Suicide Prevention (IASP) menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 memicu peningkatan jumlah pasien kesehatan mental yang hendak bunuh diri. Angka bunuh diri sendiri tercatat terjadi setiap 40 detik di dunia.

Tod Bolsinger, seorang teolog dari Fuller Seminary Amerika Serikat, mengatakan bahwa pada saat ini ketika kita menghadapi virus Covid-19, kita seperti tengah berada pada wilayah baru yang tidak terpetakan.  Artinya, jalan di depan kita tidak kita ketahui juntrungan-nya. Covid-19 membuat kita seolah tidak punya kendali atas kehidupan di masa depan. Hidup kita seperti tanpa kalender kerja, tanpa pengaturan, tanpa perencanaan jauh ke depan.

Pandemi tak hanya menyerang kesehatan fisik akan tetapi juga memorak-morandakan kehidupan ekonomi kita. ILO (International Labour Organization) memperkirakan akan ada sekitar 195 juta lapangan kerja di dunia akan hilang akibat Covid-19. Di Indonesia pada bulan Februari angka pengangguran meningkat 5%. Angka ini akan melonjak bilamana Covid-19 tidak mampu dibendung.  Dari sudut pangan, hasil riset IFPRI (International Food Policy Research Institute) menyatakan akibat bencana Covid-19 diperkirakan akan terjadi kelaparan ekstrim pada 150 juta penduduk dunia.  

Kegentaran tak hanya sekadar soal pandemi, tetapi juga berbagai macam persoalan kehidupan, termasuk dalam kehidupan bersama berbangsa di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, kita menemukan kenyataan makin menguatnya intoleransi. Sidney Jones, pakar konflik di Indonesia menyatakan bahwa masalah terbesar bagi demokrasi Indonesia bukanlah terorisme, melainkan intoleransi yang menjalar dari kelompok radikal yang pinggiran ke arah arus utama (mainstream).   Di tengah keadaan itu, demikian Jones, pemerintah Indonesia kurang memberikan perhatian serius akan kenyataan ini sehingga budaya kebencian dan kekerasan terus terjadi pada kelompok-kelompok minoritas.

Di sini, kita dapat menyebut ada ormas berbalut agama yang dikatakan oleh International Crisis Group sebagai kaum moralis ekstrem. Ian Wilson, ilmuwan politik yang mempelajari sebuah ormas besar tersohor dari dekat menyatakan sepak terjang mereka lebih dapat dijelaskan dengan faktor uang dibandingkan dengan faktor moral. Dengan tegas Wilson mengatakan ormas tersebut telah mengukuhkan kedudukannya dalam dunia perpolitikan dengan sengaja menciptakan ketegangan sosial dan kepanikan moral yang dengan itu mereka menempatkan dirinya sebagai broker, semacam pemeras moralitas.

Tak ayal lagi, realitas ini kerap kembali mengembalikan mentalitas kaum minoritas –kita, komunitas kristen khususnya– dalam mentalitas keong.  Mentalitas ini membuat kita diam dengan beribu alasan. Di manakah keberanian kita? Di sini kita perlu menyerukan panggilan kita lebih keras dan sungguh-sungguh untuk kembali dikuasai oleh Roh Kudus, Roh yang memberikan keberanian menghadapi hidup dalam kebenaran Allah.

 

BERANI HIDUP

Menjelang akhir tahun 2020, publik dikejutkan dengan keberanian seorang bernama Nikita Mirzani menghadapi oknum-oknum dari sebuah ormas besar di Indonesia. Ketika gema ketakutan yang membuat banyak orang tengkurap, atau memilih diam karena menghadapi kekuatan massa yang besar –bahkan termasuk aparat hukum– tanpa gentar Nikita Mirzani melawan. Lepas dari berbagai kategori moral yang kerap diletakkan pada artis kontroversial ini, agaknya kita perlu merenung sejenak untuk menilai keberanian hidup kita. Inilah saatnya kita mengobarkan kuasa Roh Kudus yang memberikan keberanian yang menyala-nyala demi Injil Kerajaan Allah. Inilah saatnya merasakan kembali kuasa Roh Kudus yang meghadirkan keberanian dalam memberitakan Injil Kerajaan Allah sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh pada martir.

Adalah saatnya kita memiliki mental seperti Stefanus dan para murid yang lain, yang secara personal punya keberanian karena pengalaman iman bersama Kristus yang bangkit itu. Semoga masa Pentakosta ini menyadarkan kita untuk berani menyongsong hidup bersama Roh Kudus.

 

 

 
KLIK TOMBOL HIJAU INI UNTUK BERTANYA KONSULTASI DENGAN PENDETA GKJ BANGSA VIA WHATSAPP - 085228765288
wa