Mengampuni
Kita belajar dari bacaan injil Matius 18:27 mengenai inti dari kisah hamba yang berhutang dan raja yang mengampuni, “Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.” Inilah pesan cinta ilahi yang berbuah pengampunan itu. Sungguh banyak kata “belas kasihan” (splagchnon) muncul di dalam Injil untuk menggambarkan sedekat mungkin isi hati Yesus yang mencerminkan isi hati Allah sendiri.
Kita merasa perlu untuk menegaskan logika pengampunan berbasis anugerah dan belas kasihan ini. Anugerah selalu gratis, bukan karena ia murahan, namun karena ia terlampau mahal untuk dapat kita beli. Anugerah yang gratis itu tidak didahului oleh tindakan apa pun dari pihak si terampun untuk memperolehnya. Ia melulu kehendak Allah. Ia merupakan aksi ilahi, tak pernah berupa reaksi atas aksi manusiawi.
Untuk itu kita perlu berhati-hati mengartikulasikannya. Tak jarang kita menghadirkan logika anugerah ini justru dengan penjelasan yang berlawanan dengannya. Misalnya, saya pernah mendengar seorang pengkhotbah yang berkata nyaring, kurang-lebih, “Allah itu mahakasih namun juga mahaadil. Karena mahakasih Ia ingin menyelamatkan; karena mahaadil maka Ia harus menghukum sehingga terbayarlah seluruh hutang manusia kepada-Nya. Maka Allah mengutus Anak-Nya untuk mati, dan dengan demikian, Yesus membayarkan hutang-hutang manusia dengan darah-Nya.”
Kematian Kristus dipahami sebagai pembayaran hutang manusia kepada Allah. Artinya, dengan matinya Yesus, terbayarlah hutang keadilan Allah. Artinya, Allah tidak merugi apa-apa. Maksudnya mungkin baik, namun artikulasinya menyesatkan. Anugerah tak pernah dapat dipahami lewat lensa hutang-piutang, lewat kerangka bayar-membayar. Ia sepenuh-penuhnya aksi kasih Allah tanpa ada tukar-menukar apa pun. Hanya dengan mempertahankan logika anugerah ini, iman Kristen akan melahirkan keterpesonaan, iman, dan kegembiraan yang meluapluap. Amin.